Senin, 27 Februari 2012

MASIH CINTA

Gambar dari sini

          “Hai Sep, kamu sudah baca belum?”
          “Hah, baca apaan?”
          “Nih, coba deh buka halaman 56 terus kamu baca!”
          Sebuah majalah wanita muda dilemparkan ke arah Asep.
          “Jangan becanda ah! Masa iya, aku harus baca majalah ginian sih. Ini kan majalah cewek?”
          “Nggak usah banyak tanya deh, baca aja!”
          Asep mulai membuka lembar demi lembar majalah tersebut. Halaman 56. Tepat di halaman tersebut, Asep berhenti. Satu per satu kata yang tertulis dalam halaman tersebut Asep baca.
***
Aku bingung harus mengawali dengan kata apa untuk menuliskan kisahku ini. Kisah yang selama ini hanya tersimpan manis dalam memoriku. Tak ada buku catatan harian manapun yang bisa dijadikan sebagai bukti otentik. Tapi percayalah kawan, kisah yang aku ceritakan ini tidak mengada-ada.
          Ini tentang dia, cinta monyetku. Cinta pertama waktu aku masih Taman Kanak-Kanak dulu. Tak perlu kau pikirkan secepat itukah aku mengenal cinta? Ikuti saja alur ceritanya.                                                                                          
Kamu tak tahu
          Rasanya hatiku
          Saat berhadapan kamu
          Kamu tak bisa
          Bayangkan rasanya
          Jadi diriku
Yang masih cinta
Lagu Masih Cinta milik KOTAK mengalun pelan dari ponselku. Segera aku raih ponsel dari dalam tas kepala Winnie the pooh kesayanganku. Dan di layar ponsel tertera tulisan “1 new message”. Tanpa pikir panjang, langsung aku pencet tombol buka.
“Hai na,
tar mlm q maen k t4mu y
-Asep-”
Asep? Temenku yang namanya Asep kan banyak? Ini yang mana? Bingung aku dibuatnya. Masih dengan otak yang terus berpikir tentang Asep mana yang mengirimkan sms, kembali kudengar suara serak Tantri, vokalis KOTAK dari ponselku.
“Na, km dah nrima sms dr asep?” sms dari Dita, sepupuku.
“Asep? Asep siapa, ta?” aku malah balik bertanya tanpa memberitahu bahwa aku memang sudah mendapat sms dari Asep.
“Jjiahh..
 Pura2 ga kenal
Tu lho cinmonmu paz TK.
Td dy mnta no.mu,
ktaY da pnting ma km”
What? Jadi, ini Asep ketua kelas waktu TK dulu yang pernah aku taksir? Kok bisa? Otakku bekerja mundur. Kembali pada memori beberapa tahun silam. Aku tertawa sendiri. Mungkin orang lain yang melihatku akan berpikir aku sudah tidak waras lagi.
Jantungku selalu berdagdigdug ria setiap aku secara tak sengaja bertemu Asep. Bahkan, suatu hari sepulang belajar di TK aku justru merasa senang (bukannya kasihan) melihat Asep meringis kesakitan karena terjatuh dari sepeda kecilnya yang berwarna oranye. Dalam keadaan menahan sakit pun wajah Asep tetap manis. Semanis gula tebu.
Beralih ke masa Sekolah Dasar. Asep masuk ke SD Dipo yang jaraknya tak terlalu jauh dari sekolahku, SD Kartini. Dan kebetulan, kedua sekolah ini diajar oleh guru agama yang sama. Datanglah hari itu. Guru agama kami, Pak Carito meminta tolong pada kami, murid kelas 6 SD Kartini untuk mencocokkan jawaban ulangan agama murid kelas 6 SD Dipo.
Kesempatan yang kumiliki karena duduk di bangku paling depan tak aku sia-siakan. Segera aku cari lembar jawaban yang di bagian pojok kanan atas tertuliskan sebuah nama A. Saifudin atau yang sering disapa sebagai Asep.
Bayanganku tentang Asep yang manis sekaligus pintar agak tergoyahkan ketika kudapati ada lima jawaban Asep pada lembar jawab yang kurang tepat dan artinya nilai lima untuk pelajaran agama. Tapi, itu tak membuatku berhenti menyukainya. Aku yakin dia tak sebodoh itu, dia masih bisa belajar lagi untuk memperbaiki nilainya yang kurang bagus ini. Pikirku.
“Na, makan siang dulu. Di meja makan sudah Mama siapin cumi goreng tepung kesukaanmu,“ suara mama membuyarkan lamunanku.
***
          Matahari merangkak kembali menuju peraduannya. Saatnya gelap berkencan dengan bumi. Di sudut kamar, aku duduk di kursi malasku dengan jantung yang  bersenam aerobik. Dag dig dug. Melompat-lompat. Membayangkan pertemuanku dengan Asep.
          Ting tong…
          Bel rumahku berbunyi. Tanda ada seseorang memencetnya.
          “Na, ada temenmu tuh,” kakak memanggilku setelah ia membukakan pintu dan mempersilakan seseorang yang tadi memencet bel duduk di salah satu ruang tamu.
          Tenang, Na. Santai. Anggap saja dia teman lamamu yang berkunjung ke rumah untuk menjaga silaturahmi. Aku mencoba menenangkan diri walaupun tak dapat kupungkiri jantungku masih saja beraerobik ria bahkan dengan ritme lebih kencang dari sebelumnya
.         “Mm… Hai, Sep,” dengan suara agak sedikit gugup aku mencoba menyapa.
          “Hai, Na. Apa kabar? Sehat?”
          “Alhamdulillah sehat.”
          Tidak ada acara perkenalan diri karena masing-masing menganggap sudah saling kenal. Menit-menit awal pertemuan dipenuhi dengan pertanyaan dan jawaban serba basa-basi. Namun tak berlangsung lama.
          Obrolanku malam itu bersama Asep terus mengalir. Dan tak jarang di sela-sela obrolan Asep menyelipkan rayuan-rayuan gombal khas lelaki pada umumnya. Seperti “Kamu manis sekali”, “Kamu makin cantik saja”, “Pasti banyak cowok yang naksir kamu” dan sejenisnya. Tak jarang pula aku dibuat mabuk oleh derasnya rayuan-rayuan yang mengucur dari mulut Asep.
          Pertemuan dengan Asep tak hanya malam itu. Karena setelah itu Asep sering bertandang ke rumah. Bahkan, bisa dikatakan hampir tiap akhir pekan Asep berkunjung.
          Sampai akhirnya, hari itu. Malam bulan purnama. Di bawah pohon kenari, aku dan Asep duduk bersama memandang langit bertabur bintang. Sungguh indah langit malam dan menjadi lebih indah karena kehadiran sang  purnama.
          “Na, boleh nggak aku ngomong sesuatu?” suara Asep memecah keheningan.  Pertanyaan Asep itu membuatku heran. Tak biasanya Asep seperti itu. Bukankah Asep itu orangnya to the point yang selalu langsung mengutarakan apa yang ingin disampaikan tanpa meminta ijin pendengarnya. Tapi ini kelihatannya sesuatu yang serius.
          “Ya, ngomong aja.”
          “Na, bintang-bintang di langit itu indah ya.”
“Ho oh. Indah. Indah banget. Aku suka ngelihat bintang. Bintang mampu memberikan keindahan di gelapnya malam. Coba kalau malam tak berbintang, pasti sangat hitam dan kelam.”
“Iya, aku juga suka melihat bintang. Tapi kamu tahu nggak, Na? Bagiku ada yang lebih indah dari bintang-bintang itu. Dan itu adalah kamu. Na, mau nggak kamu jadi bintang yang akan selalu menyinari hatiku?”
          Deg. Jantungku seakan mogok bekerja. Bukan karena gaji yang kuberikan untuk memompa darah ke seluruh tubuhku kurang. Tentu saja bukan. Jantungku mogok karena aku tersentak kaget. Aku tak pernah menyangka akan semudah dan secepat itu Asep mengungkapkan perasaannya. Jawaban apa yang harus aku berikan?
          “Nggak perlu kamu jawab sekarang kok, Na. Aku akan menunggu sampai kamu siap untuk memberikan jawaban. Kapanpun itu. Dan kita sekarang masih bisa tetap berteman, kan?” Asep seolah mampu membaca pikiranku.
          Jujur. Sejujur-jujurnya, aku sayang Asep. Dan aku juga selalu menantikan momen ini. Bahkan dulu aku pernah memakai nama Saegirl sebagai account email pertamaku, yang memiliki arti gadisnya Saefudin atau Asep. Semata-mata karena obsesiku padanya.
          Aku sering membayangkan, jalan bareng Asep pergi ke bioskop nonton film bareng. Makan bakso cinta bareng di warung Win-Top. Atau hanya sekedar jalan bareng untuk menikmati udara malam dan memandang langit berbintang.
          Tapi saat ini aku belum siap untuk mengungkapkan semuanya. Rasanya baru kemarin kita saling kenal. Aku ingin menikmati kebersamaan tanpa harus ada status yang mengikat antara kita terlebih dahulu.
          Malam purnama itu mengubahku. Sejak itu, aku selalu berusaha menghindar dari Asep. Telepon dan sms dari Asep tak satu pun yang aku respon.
Aku merasa mentalku belum siap. Ini bagai kisah dari negeri dongeng bagiku. Asep yang dulu hanya ada dalam mimpi. Kini nyata ada dalam hidupku.
          Hampir tiga bulan aku menghindar. Tak ada sapa, tak ada tanya.
Surat yang Asep tulis dan titipkan pada Dita membuatku tak tahan. Tak tahan untuk segera mengakhiri semua ini.
          Dear Nana…
          Sebelumnya aku minta maaf kalau ada salah denganmu. Tak seharusnya kamu menghindar dariku seperti ini.
          Aku hanya ingin jujur. Jujur pada diriku sendiri. Sejak pertama aku melihatmu di halte depan sekolahmu, aku tertarik dan jatuh hati padamu. Hingga akhirnya kutahu bahwa kamu adalah sepupu Dita, pacar temen baikku. Dan aku pun mulai mencari tahu tentang kamu melalui Dita. Dita baik. Dita memberitahu padaku semua  tentangmu. Tentang sifat-sifat baikmu, tak ada satupun keburukanmu yang Dita ceritakan padaku. Itu, semakin membuatku kagum padamu.
          Suatu ketika Dita memberikan nomor HPmu. Sebenarnya aku memaksa dan membohonginya dengan mengatakan bahwa ada hal penting yang perlu aku bicarakan padamu. Aku senang. Sangat senang. Karena akhirnya aku pun bisa dekat denganmu.
          Kamu memang gadis baik seperti yang aku pikirkan selama ini. Bahkan, kamu sangat baik. Karena telah memperbolehkan aku masuk dalam kehidupanmu. Maaf, kalau sudah lancang. Dan maaf, kalau semua yang aku lakukan telah membuatmu terganggu.
Not a good person
-          Asep –
***
Aku merasa bersalah. Bersalah pada Asep dan juga bersalah pada diriku sendiri. Aku tak berani jujur bahwa aku pun menginginkan Asep. Menginginkannya untuk menjadi kekasihku. Menginginkan Asep di sampingku saat aku butuh sandaran ketika aku merasa terpuruk. Menginginkan Asep ada bersamaku, tertawa bersama saat aku merasa bahagia.
Akhirnya, aku memberanikan diri untuk menemui Asep. Aku ingin memberikan penjelasan tentang sikapku selama ini. Akan aku ungkapkan pula rasaku padanya. Aku datang ke rumahnya. Kosong. Kata tetangga sebelah, Asep dan keluarga pindah rumah. Tak tahu kemana.
Kecewa. Aku tak tahu harus gimana lagi. Aku merasa semuanya sudah terlambat. Sebentar lagi pengumuman kelulusan sekolah. Dan itu berarti sebentar lagi pula aku akan meninggalkan kota ini. Aku akan melanjutkan studiku di negeri sakura, Jepang. Tokyo university.
Mungkinkah aku masih bisa bertemu dengan Asep dan mengungkapkan semuanya? Aku harap bisa bertemu dengan Asep sebelum aku berangkat ke Tokyo. Akan aku ungkapkan semua perasaanku, walaupun mungkin Asep sudah berubah. Tak mencintaiku lagi. Atau bahkan malah membenciku? Aku tak peduli. Aku harus mengungkapkan semua perasaanku. Semoga di hari terakhir sebelum keberangkatanku, aku bisa mengungkapkannya pada Asep. Semoga.
***
          “Ah, apa istimewanya? Ini kan cuma cerpen?”
          “Tapi ini cerpen hasil tulisan Nana, Sep. Lihat pengarangnya! Nana Aulia Lesmana.”
          “Lantas? Apa bedanya? Mau Nana Aulia atau yang lain, tetap saja ini cerpen!”
          “Cerpen ini bukan cerita biasa, Sep. Ini cerita yang jujur. Jujur dari hati seorang Nana. Bahkan nama tokohnya tak diubah sedikitpun. Cobalah kamu berhenti bersikap seperti itu, Sep. Aku tahu kamu pernah sakit hati karena Nana. Tapi, aku juga tahu kamu masih mencintainya. Kamu masih mengharapkan dia hadir dalam hidupmu. Sudahlah sep, kamu tak perlu membohongi dirimu sendiri.”
          “Aku dengar, besok Nana akan berangkat ke Tokyo untuk melanjutkan studi. Kalau kamu memang masih cinta, temui dia di bandara Soekarno-Hatta besok jam 22.00 sebelum kamu kehilangan semuanya.” 
Ruang tamu Omahe Pak Mul, 2009
50:50 (FIKTIF : TRUE STORY )
Nana

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...