Senin, 22 April 2013

SAYA PINTAR?

gambar diambil dari www.wallcoo.net
Belasan tahun sudah saya habiskan di bangku sekolah. Dari umur saya masih 3 sampai sekarang hampir 23. Saya suka sekolah. Membaca buku-buku pelajaran, mendengarkan penjelasan guru di depan sekolah, mencoret-coret buku catatan, mengerjakan soal ujian, dan tentunya bermain bersama teman-teman. Ah, sebenarnya saya tak melakukan semua yang saya sebutkan. Saya jarang sekali mencatat, dan hanya sesekali mendengarkan penjelasan guru. 

Saya sangat menyukai aktivitas membaca. Membaca apa saja. Dan mungkin kesukaan saya membaca ini yang membuat saya lebih "mudah" saat mengerjakan soal ujian. Akhirnya saya mendapatkan nilai-nilai yang bagus hingga mendapat julukan "pintar".

Pintar?? Benarkah saya ini pintar? Saya masih saja menanyakan ini pada diri saya sendiri. Pertanyaan ini sebenarnya sudah muncul sejak saya masih di bangku SD.

Pernah suatu ketika saya mendengar guru SD saya membanding-bandingkan saya dengan kakak saya yang kebetulan hanya berselisih 1 tahun sekolah. Mereka mengatakan saya "lebih pintar" dari kakak saya.
 
Apa benar seperti itu? Darimana mereka mengukur kepintaran kami? Dari jawaban ujian? Mengapa kepintaran hanya diukur dari satu jalan?

Saya  tak pernah benar-benar setuju bahwa saya lebih pintar dari kakak saya. Saya memang selalu mendapat nilai lebih bagus dari hasil ujian. Tapi bukan berarti saya lebih pintar dari kakak saya.

Kakak saya mungkin tak semulus saya ketika mengerjakan soal-soal ujian. Kecepatan membaca dan berhitungnya bisa jadi di bawah saya. Tapi tak bisakah para  guru itu melihat kemampuan kakak saya yang lain?

Saya lumayan sering tak cocok dengan cara guru-guru itu mengajar. Tapi, saya selalu berusaha menyamakan pola pikir saya dengan para guru, dengan yang diinginkan oleh sistem pendidikan, kurikulum. Kalau boleh dibilang, mungkin itu kelebihan yang membuat saya hampir selalu mendapat nilai bagus. Tetap saja hal itu tak lantas menjadikan saya pantas disebut lebih pintar dari kakak saya.

Kemampuan interpersonal kakak saya sangat lah keren. Dia memiliki banyak kawan; yang seumuran, lebih tua, lebih muda, bahkan teman-teman saya hampir semuanya menjadi temannya. Rasa solidaritas, simpati dan empatinya pada sesama begitu tinggi. Sedangkan, saya? Ahh, saya selalu iri dengan kemampuan interpesonal kakak saya. Mengapa kemampuan ini tak pernah dilihat oleh para guru di sekolah?

Kakak saya mempunyai minat yang sangat tinggi pada cocok tanam dan beternak. Dia begitu sabar dan telaten. Sayangnya, guru di sekolah tak menggunakan tolok ukur kepintaran dengan nilai-nilai kesabaran.

Hal lainnya yang membuat saya iri adalah kemampuan kakak saya dalam menjahit dan menyulam. Saya tahu kakak saya pernah membuat sulaman di kain taplak saat SD. Saya membuat kemoceng dari tali rafia saat SMP saja hasilnya tidak rapi. Hahahaha,,
Lagi-lagi seni jahit dan sulam bukan ukuran yang digunakan di sekolah untuk dapat disebut pintar.

Kemampuan baca, tulis, dan hitung saya mungkin lebih baik dari kakak saya. Tapi, itu tak pernah menjadikan saya lebih pintar dari kakak saya.

Saya dan kakak saya adalah dua pribadi yang berbeda meski dilahirkan dari rahim yang sama. Masing-masing dari kami memiliki kelebihan dan kekurangan. Tak bisa disamakan, pun tak bisa dibandingkan.

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...