Minggu, 17 Maret 2013

DUA LINGKARAN: BUKAN LELUCON



“Ibuku humoris.”
Dua kata di atas pernah menjadi status di salah satu account jejaring sosialku. Tak ada yang salah dengan dua kata itu. Aku akui memang benar bahwa ibu seorang yang humoris. Aku menulis status itu karena aku (masih saja) terkecoh dengan lelucon buatan ibu.
Aku ingat. Dulu ibu sering menceritakan lelucon-lelucon pada kami, anak-anaknya. Ibu menceritakannya dengan mimik yang serius atau kadang dengan wajah datar, sehingga kami –terutama aku sering terkecoh olehnya. Aku terlalu serius mendengarkan, hingga kadang aku mengira lelucon ibu adalah sesuatu yang serius, penting atau nyata terjadi.


Suatu ketika, ibu bercerita tentang seorang guru kesenian dan muridnya. Pak guru memberikan tugas kepada murid-muridnya untuk menggambar dengan tema biantang. Ketika memeriksa hasil gambar murid-muridnya, pak guru bingung dengan salah satu gambar. Di kertas gambar itu hanya ada gambar lingkaran dengan satu garis lengkung yang sedikit menyentuh lingkaran dan melengkung ke bawah, agak mirip huruf Q.
Pak guru memanggil murid tersebut dan bertanya, “Nak, bapak menyuruhmu menggambar binatang tapi kenapa kamu menggambar seperti ini?”
 “Itu gambar seekor tikus dari belakang, pak. Hanya kelihatan ekor dan pantatnya,” jawab murid.
Gambar seekor tikus dari belakang, hanya tampak pantat dan ekornya
 Pak guru pun bengong. Tak bisa berkata-kata lagi.
Orang-orang yang mendengarkan cerita ibu, langsung tertawa. Bapakku, omku (keduanya seorang guru SD, sama seperti ibuku), juga kakakku tertawa. AKU SENDIRI YANG TIDAK. Aku pikir apanya yang lucu? Tak ada yang salah dengan gambar seekor tikus tampak dari belakang.
Akhirnya, aku sadar bahwa yang ibu ceritakan memang hanyalah lelucon yang dibuat ibu bersama teman-teman sekantornya saat melepas penat setelah mengajar murid-muridnya. Aku  tahu bahwa ternyata tak pernah ada anak SD yang benar-benar menggambar lingkaran dengan lengkungan buntut itu.
Aku menyadari itu justru saat aku sendiri yang mencoba melakukannya.
Mungkin, awalnya ibu mengganggap pantat tikus itu hanya sebuah lelucon. Sampai akhirnya, aku –anaknya mencoba melakukan seperti yang dilakukan si murid dalam lelucon ibu. Saat ibu menceritakan lelucon itu, aku duduk di kelas tiga. Berarti umurku masih tujuh. Dan aku mencoba melakukan seperti dalam lelucon ibu saat aku kelas empat.
Ceritanya begini. Hari itu hari pertamaku di kelas empat. Pelajaran terakhir adalah kesenian. Guruku meminta kami untuk menggambar dengan tema bebas. Terserah kami, sesuai imajinasi kami.
Hmm,, tema bebas. Bagus. Ini kesempatanku. Aku akan menggambar sesuatu yang tak pernah terpikirkan orang lain. Aku akan membuat kejutan. Aku yakin ini adalah ide yang luar biasa. Aku akan membuat guruku terbengong-bengong, bangga atas ide hebatku. Dan mungkin ibu juga akan bangga.
Aku menarik garis di setiap tepi kertas gambarku. Entahlah, aku sendiri tidak tahu mengapa harus ada aturan membuat garis tepi masing-masing dengan jarak 1-2 cm dari tiap tepi kertas gambar sebelum aku harus memulai menuangkan ide gambar di kertas itu. Selesai menggaris tepi, aku membuat dua lingkaran berjajar dengan posisi sedikit ke atas, agak dekat dengan garis tepi. Mungkin jaraknya sekitar 3 cm dari garis tepi atas. Hmm,, lebih jelasnya aku gambarkan saja.

Ya. Seperti ini gambarku. Dua lingkaran.
Selesai dengan dua lingkaranku, aku menutup buku gambarku. Aku pun berkeliling, melihat teman-teman yang lain menggambar. Setiap mereka bertanya apakah gambarku sudah selesai, selalu aku jawab “sudah” dengan mantab.
Lima belas menit sebelum pelajaran berakhir, guruku –yang sebenarnya masih terhitung sebagai budheku karena beliau adalah anak dari kakak dari kakekku itu menyuruh kami mengumpulkan gambar yang telah selesai kami buat. Guruku menilai dan langsung membagikannya lagi pada kami.
Tibalah giliranku.
Budheku, hmmm maksudku guruku memanggil namaku. Aku segera maju mendekat ke mejanya. Aku kena marah karena aku hanya membuat dua lingkaran. Guruku menyuruhku membawa pulang kertas gambarku dan mengumpulkan gambar baru esoknya.
Aku pulang ke rumah dengan langkah panjang-panjang. Aku sedikit emosi. Akan aku buktikan bahwa perkataan guruku itu tidak benar. Aku bukan tidak bisa menggambar. Aku yakin aku bisa menggambar dengan baik. Hanya guruku saja yang tidak tahu.
Sampai di rumah, tanpa mengganti baju seragamku aku langsung mengambil buku gambarku. Aku letakkan di atas kasur dan aku menggambar kucing seperti yang ada pada motif sprei tempat tidurku.
Ibu yang baru saja pulang dari kantor, bingung melihatku yang sudah sibuk dengan pensil, penghapus dan kertas gambarku di atas kasur. Aku menceritakan semuanya pada ibu.
Beberapa detik ibu terbengong, tapi kemudian ibu pergi meninggalkan aku dengan “calon kucingku”. Mungkin saat itu ibu menyadari bahwa lelucon yang pernah dibuatnya, sekarang bukan sekedar lelucon.
Aku -anaknya bertingkah seperti tokoh dalam leluconnya. Menggambar sesuatu yang tidak biasa, dan (mungkin) tidak bisa diterima oleh seorang guru SD.
Sampai sekarang aku tak pernah merasa bahwa apa yang pernah aku lakukan saat aku kelas empat itu sebagai sebuah kesalahan. TAK ADA YANG SALAH DENGAN DUA LINGKARANKU.
Andai saja guruku mau memintaku menjelaskan apa arti dua lingkaranku...
Tak usah kalian minta penjelasanku, aku akan menceritakannya pada kalian.
Dua lingkaran adalah ide luar biasaku. Sebuah ide gambar yang mungkin tak akan pernah terlintas di benak anak-anak SD lainnya. Saat guruku meminta menggambar dengan tema bebas, imajinasi melayang ke belakang rumah nenek. Aku, kakak dan sepupu-sepupuku sering bermain-main di sana. Memetik buah jambu yang buahnya begitu banyak saat musim panen tiba. Aku memposisikan diriku berada di belakang rumah nenek itu.
Kertas gambar dengan dua lingkaran itu adalah tembok belakang rumah nenek. Bangunan berbentuk segi empat bercat putih dengan dua lubang ventilasi berbentuk lingkaran yang berjajar. Di seberang tembok itu dapur. Itulah kenapa ada dua lubang lingkaran di sana. Agar asap dari dapur dapat ke luar.
Kalau kalian (mau) menyempatkan diri berkunjung ke belakang rumah nenekku, kalian juga pasti akan melihat dua lingkaran itu.
Dua lingkaranku. Selalu kusimpan dalam laci kenangan. Dua lingkaran yang membuatku merasa istimewa. Dua lingkaran yang membedakan aku dengan anak-anak lain. Dua lingkaran yang menjadikanku spesial, unik, dan berbeda.
Apakah kalian juga mempunyai “dua lingkaran” sepertiku?
Kalo iya, ayo ceritakan padaku! Aku ingin tahu. :)

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...