Gambar dari sini |
“Hai Sep, kamu sudah baca belum?”
“Hah, baca apaan?”
“Nih, coba deh buka halaman 56 terus
kamu baca!”
Sebuah majalah wanita muda dilemparkan
ke arah Asep.
“Jangan becanda ah! Masa iya, aku
harus baca majalah ginian sih. Ini kan majalah cewek?”
“Nggak usah banyak tanya deh, baca
aja!”
***
Aku bingung harus mengawali dengan kata apa untuk
menuliskan kisahku ini. Kisah yang selama ini hanya tersimpan manis dalam
memoriku. Tak ada buku catatan harian manapun yang bisa dijadikan sebagai bukti
otentik. Tapi percayalah kawan, kisah yang aku ceritakan ini tidak mengada-ada.
Ini
tentang dia, cinta monyetku. Cinta pertama waktu aku masih Taman Kanak-Kanak dulu.
Tak perlu kau pikirkan secepat itukah aku mengenal cinta? Ikuti saja alur
ceritanya.
Kamu tak
tahu
Rasanya hatiku
Saat berhadapan kamu
Kamu tak bisa
Bayangkan rasanya
Jadi diriku
Yang masih
cinta
Lagu Masih Cinta
milik KOTAK mengalun pelan dari
ponselku. Segera aku raih ponsel dari dalam tas kepala Winnie the pooh kesayanganku. Dan di layar ponsel tertera tulisan “1 new message”. Tanpa pikir panjang,
langsung aku pencet tombol buka.
“Hai na,
tar mlm q maen k t4mu y
-Asep-”
Asep?
Temenku yang namanya Asep kan banyak? Ini yang mana? Bingung aku dibuatnya.
Masih dengan otak yang terus berpikir tentang Asep mana yang mengirimkan sms,
kembali kudengar suara serak Tantri, vokalis KOTAK dari ponselku.
“Na, km dah nrima sms dr asep?” sms dari Dita, sepupuku.
“Asep? Asep siapa, ta?” aku malah balik bertanya tanpa
memberitahu bahwa aku memang sudah mendapat sms dari Asep.
“Jjiahh..
Pura2 ga kenal
Tu lho cinmonmu paz TK.
Td dy mnta no.mu,
ktaY da pnting ma km”
What? Jadi,
ini Asep ketua kelas waktu TK dulu yang pernah aku taksir? Kok bisa? Otakku bekerja mundur.
Kembali pada memori beberapa tahun silam. Aku tertawa sendiri. Mungkin orang
lain yang melihatku akan berpikir aku sudah tidak waras lagi.
Jantungku selalu berdagdigdug
ria setiap aku secara tak sengaja bertemu Asep. Bahkan, suatu hari sepulang
belajar di TK aku justru merasa senang (bukannya kasihan) melihat Asep meringis
kesakitan karena terjatuh dari sepeda kecilnya yang berwarna oranye. Dalam
keadaan menahan sakit pun wajah Asep tetap manis. Semanis gula tebu.
Beralih ke masa Sekolah Dasar. Asep masuk ke SD Dipo
yang jaraknya tak terlalu jauh dari sekolahku, SD Kartini. Dan kebetulan, kedua
sekolah ini diajar oleh guru agama yang sama. Datanglah hari itu. Guru agama
kami, Pak Carito meminta tolong pada kami, murid kelas 6 SD Kartini untuk
mencocokkan jawaban ulangan agama murid kelas 6 SD Dipo.
Kesempatan yang kumiliki karena duduk di bangku paling
depan tak aku sia-siakan. Segera aku cari lembar jawaban yang di bagian pojok
kanan atas tertuliskan sebuah nama A. Saifudin atau yang sering disapa sebagai
Asep.
Bayanganku tentang Asep yang manis sekaligus pintar agak
tergoyahkan ketika kudapati ada lima jawaban Asep pada lembar jawab yang kurang
tepat dan artinya nilai lima untuk pelajaran agama. Tapi, itu tak membuatku
berhenti menyukainya. Aku yakin dia tak
sebodoh itu, dia masih bisa belajar lagi untuk memperbaiki nilainya yang kurang
bagus ini. Pikirku.
“Na, makan siang dulu. Di
meja makan sudah Mama siapin cumi goreng tepung kesukaanmu,“ suara mama
membuyarkan lamunanku.
***
Matahari merangkak kembali menuju
peraduannya. Saatnya gelap berkencan dengan bumi. Di sudut kamar, aku duduk di
kursi malasku dengan jantung yang bersenam
aerobik. Dag dig dug.
Melompat-lompat. Membayangkan pertemuanku dengan Asep.
Ting
tong…
Bel rumahku berbunyi. Tanda ada
seseorang memencetnya.
“Na, ada temenmu tuh,” kakak
memanggilku setelah ia membukakan pintu dan mempersilakan seseorang yang tadi
memencet bel duduk di salah satu ruang tamu.
Tenang,
Na. Santai. Anggap saja dia teman lamamu yang berkunjung ke rumah untuk menjaga
silaturahmi. Aku mencoba menenangkan diri walaupun tak dapat kupungkiri
jantungku masih saja beraerobik ria bahkan dengan ritme lebih kencang dari
sebelumnya
. “Mm… Hai, Sep,” dengan suara agak
sedikit gugup aku mencoba menyapa.
“Hai, Na. Apa kabar? Sehat?”
“Alhamdulillah sehat.”
Tidak ada acara perkenalan diri karena
masing-masing menganggap sudah saling kenal. Menit-menit awal pertemuan
dipenuhi dengan pertanyaan dan jawaban serba basa-basi. Namun tak berlangsung
lama.
Obrolanku malam itu bersama Asep terus
mengalir. Dan tak jarang di sela-sela obrolan Asep menyelipkan rayuan-rayuan
gombal khas lelaki pada umumnya. Seperti “Kamu
manis sekali”, “Kamu makin cantik saja”, “Pasti banyak cowok yang naksir kamu”
dan sejenisnya. Tak jarang pula aku dibuat mabuk oleh derasnya rayuan-rayuan
yang mengucur dari mulut Asep.
Pertemuan dengan Asep tak hanya malam
itu. Karena setelah itu Asep sering bertandang ke rumah. Bahkan, bisa dikatakan
hampir tiap akhir pekan Asep berkunjung.
Sampai akhirnya, hari itu. Malam bulan
purnama. Di bawah pohon kenari, aku dan Asep duduk bersama memandang langit
bertabur bintang. Sungguh indah langit malam dan menjadi lebih indah karena
kehadiran sang purnama.
“Na, boleh nggak aku ngomong sesuatu?”
suara Asep memecah keheningan. Pertanyaan
Asep itu membuatku heran. Tak biasanya Asep seperti itu. Bukankah Asep itu
orangnya to the point yang selalu
langsung mengutarakan apa yang ingin disampaikan tanpa meminta ijin pendengarnya.
Tapi ini kelihatannya sesuatu yang serius.
“Ya, ngomong aja.”
“Na, bintang-bintang di langit itu
indah ya.”
“Ho oh. Indah. Indah banget. Aku suka ngelihat bintang.
Bintang mampu memberikan keindahan di gelapnya malam. Coba kalau malam tak
berbintang, pasti sangat hitam dan kelam.”
“Iya, aku juga suka melihat bintang. Tapi kamu tahu
nggak, Na? Bagiku ada yang lebih indah dari bintang-bintang itu. Dan itu adalah
kamu. Na, mau nggak kamu jadi bintang yang akan selalu menyinari hatiku?”
Deg.
Jantungku seakan mogok bekerja. Bukan karena gaji yang kuberikan untuk
memompa darah ke seluruh tubuhku kurang. Tentu saja bukan. Jantungku mogok
karena aku tersentak kaget. Aku tak pernah menyangka akan semudah dan secepat
itu Asep mengungkapkan perasaannya. Jawaban
apa yang harus aku berikan?
“Nggak perlu kamu jawab sekarang kok,
Na. Aku akan menunggu sampai kamu siap untuk memberikan jawaban. Kapanpun itu. Dan
kita sekarang masih bisa tetap berteman, kan?” Asep seolah mampu membaca
pikiranku.
Jujur. Sejujur-jujurnya, aku sayang
Asep. Dan aku juga selalu menantikan momen ini. Bahkan dulu aku pernah memakai
nama Saegirl sebagai account email pertamaku, yang memiliki
arti gadisnya Saefudin atau Asep. Semata-mata karena obsesiku padanya.
Aku sering membayangkan, jalan bareng
Asep pergi ke bioskop nonton film bareng. Makan bakso cinta bareng di warung Win-Top. Atau hanya sekedar jalan bareng
untuk menikmati udara malam dan memandang langit berbintang.
Tapi saat ini aku belum siap untuk mengungkapkan
semuanya. Rasanya baru kemarin kita saling kenal. Aku ingin menikmati
kebersamaan tanpa harus ada status yang mengikat antara kita terlebih dahulu.
Malam purnama itu mengubahku. Sejak
itu, aku selalu berusaha menghindar dari Asep. Telepon dan sms dari Asep tak
satu pun yang aku respon.
Aku merasa mentalku belum siap. Ini bagai kisah dari
negeri dongeng bagiku. Asep yang dulu hanya ada dalam mimpi. Kini nyata ada
dalam hidupku.
Hampir tiga bulan aku menghindar. Tak
ada sapa, tak ada tanya.
Surat yang Asep tulis dan titipkan pada Dita membuatku
tak tahan. Tak tahan untuk segera mengakhiri semua ini.
Dear
Nana…
Sebelumnya aku minta maaf kalau ada salah denganmu. Tak
seharusnya kamu menghindar dariku seperti ini.
Aku hanya ingin jujur. Jujur pada diriku sendiri. Sejak
pertama aku melihatmu di halte depan sekolahmu, aku tertarik dan jatuh hati
padamu. Hingga akhirnya kutahu bahwa kamu adalah sepupu Dita, pacar temen
baikku. Dan aku pun mulai mencari tahu tentang kamu melalui Dita. Dita baik.
Dita memberitahu padaku semua tentangmu.
Tentang sifat-sifat baikmu, tak ada satupun keburukanmu yang Dita ceritakan
padaku. Itu, semakin membuatku kagum padamu.
Suatu ketika Dita memberikan nomor HPmu. Sebenarnya aku
memaksa dan membohonginya dengan mengatakan bahwa ada hal penting yang perlu
aku bicarakan padamu. Aku senang. Sangat senang. Karena akhirnya aku pun bisa
dekat denganmu.
Kamu memang gadis baik seperti yang aku pikirkan selama
ini. Bahkan, kamu sangat baik. Karena telah memperbolehkan aku masuk dalam
kehidupanmu. Maaf, kalau sudah lancang. Dan maaf, kalau semua yang aku lakukan
telah membuatmu terganggu.
Not a good person
-
Asep –
***
Aku merasa bersalah.
Bersalah pada Asep dan juga bersalah pada diriku sendiri. Aku tak berani jujur
bahwa aku pun menginginkan Asep. Menginginkannya untuk menjadi kekasihku. Menginginkan
Asep di sampingku saat aku butuh sandaran ketika aku merasa terpuruk.
Menginginkan Asep ada bersamaku, tertawa bersama saat aku merasa bahagia.
Akhirnya, aku memberanikan
diri untuk menemui Asep. Aku ingin memberikan penjelasan tentang sikapku selama
ini. Akan aku ungkapkan pula rasaku padanya. Aku datang ke rumahnya. Kosong.
Kata tetangga sebelah, Asep dan keluarga pindah rumah. Tak tahu kemana.
Kecewa. Aku tak tahu harus
gimana lagi. Aku merasa semuanya sudah terlambat. Sebentar lagi pengumuman
kelulusan sekolah. Dan itu berarti sebentar lagi pula aku akan meninggalkan
kota ini. Aku akan melanjutkan studiku di negeri sakura, Jepang. Tokyo university.
Mungkinkah aku masih bisa
bertemu dengan Asep dan mengungkapkan semuanya? Aku harap bisa bertemu dengan Asep
sebelum aku berangkat ke Tokyo. Akan aku ungkapkan semua perasaanku, walaupun
mungkin Asep sudah berubah. Tak mencintaiku lagi. Atau bahkan malah membenciku?
Aku tak peduli. Aku harus mengungkapkan semua perasaanku. Semoga di hari
terakhir sebelum keberangkatanku, aku bisa mengungkapkannya pada Asep. Semoga.
***
“Ah, apa istimewanya? Ini kan cuma
cerpen?”
“Tapi ini cerpen hasil tulisan Nana,
Sep. Lihat pengarangnya! Nana Aulia Lesmana.”
“Lantas? Apa bedanya? Mau Nana Aulia
atau yang lain, tetap saja ini cerpen!”
“Cerpen ini bukan cerita biasa, Sep.
Ini cerita yang jujur. Jujur dari hati seorang Nana. Bahkan nama tokohnya tak
diubah sedikitpun. Cobalah kamu berhenti bersikap seperti itu, Sep. Aku tahu
kamu pernah sakit hati karena Nana. Tapi, aku juga tahu kamu masih mencintainya.
Kamu masih mengharapkan dia hadir dalam hidupmu. Sudahlah sep, kamu tak perlu
membohongi dirimu sendiri.”
“Aku
dengar, besok Nana akan berangkat ke Tokyo untuk melanjutkan studi. Kalau kamu
memang masih cinta, temui dia di bandara Soekarno-Hatta besok jam 22.00 sebelum
kamu kehilangan semuanya.”
Ruang tamu Omahe Pak Mul, 2009
50:50 (FIKTIF : TRUE STORY )
Nana
Nana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar