“Ibuku
humoris.”
Dua kata
di atas pernah menjadi status di salah satu account
jejaring sosialku. Tak ada yang salah dengan dua kata itu. Aku akui memang
benar bahwa ibu seorang yang humoris. Aku menulis status itu karena aku (masih
saja) terkecoh dengan lelucon buatan ibu.
Aku ingat.
Dulu ibu sering menceritakan lelucon-lelucon pada kami, anak-anaknya. Ibu menceritakannya
dengan mimik yang serius atau kadang dengan wajah datar, sehingga kami –terutama
aku sering terkecoh olehnya. Aku terlalu serius mendengarkan, hingga kadang aku
mengira lelucon ibu adalah sesuatu yang serius, penting atau nyata terjadi.
Suatu ketika,
ibu bercerita tentang seorang guru kesenian dan muridnya. Pak guru memberikan
tugas kepada murid-muridnya untuk menggambar dengan tema biantang. Ketika memeriksa
hasil gambar murid-muridnya, pak guru bingung dengan salah satu gambar. Di kertas
gambar itu hanya ada gambar lingkaran dengan satu garis lengkung yang sedikit
menyentuh lingkaran dan melengkung ke bawah, agak mirip huruf Q.
Pak guru
memanggil murid tersebut dan bertanya, “Nak, bapak menyuruhmu menggambar
binatang tapi kenapa kamu menggambar seperti ini?”
“Itu gambar seekor tikus dari belakang, pak. Hanya
kelihatan ekor dan pantatnya,” jawab murid.
Gambar seekor tikus dari belakang, hanya tampak pantat dan ekornya |
Pak guru
pun bengong. Tak bisa berkata-kata lagi.
Orang-orang
yang mendengarkan cerita ibu, langsung tertawa. Bapakku, omku (keduanya seorang
guru SD, sama seperti ibuku), juga kakakku tertawa. AKU SENDIRI YANG TIDAK. Aku
pikir apanya yang lucu? Tak ada yang salah dengan gambar seekor tikus tampak
dari belakang.
Akhirnya,
aku sadar bahwa yang ibu ceritakan memang hanyalah lelucon yang dibuat ibu
bersama teman-teman sekantornya saat melepas penat setelah mengajar murid-muridnya.
Aku tahu bahwa ternyata tak pernah ada
anak SD yang benar-benar menggambar lingkaran dengan lengkungan buntut itu.
Aku
menyadari itu justru saat aku sendiri yang mencoba melakukannya.
Mungkin, awalnya
ibu mengganggap pantat tikus itu hanya sebuah lelucon. Sampai akhirnya, aku –anaknya
mencoba melakukan seperti yang dilakukan si murid dalam lelucon ibu. Saat ibu
menceritakan lelucon itu, aku duduk di kelas tiga. Berarti umurku masih tujuh. Dan
aku mencoba melakukan seperti dalam lelucon ibu saat aku kelas empat.
Ceritanya begini.
Hari itu hari pertamaku di kelas empat. Pelajaran terakhir adalah kesenian. Guruku
meminta kami untuk menggambar dengan tema bebas. Terserah kami, sesuai
imajinasi kami.
Hmm,, tema
bebas. Bagus. Ini kesempatanku. Aku akan menggambar sesuatu yang tak pernah
terpikirkan orang lain. Aku akan membuat kejutan. Aku yakin ini adalah ide yang
luar biasa. Aku akan membuat guruku terbengong-bengong, bangga atas ide
hebatku. Dan mungkin ibu juga akan bangga.
Aku
menarik garis di setiap tepi kertas gambarku. Entahlah, aku sendiri tidak tahu
mengapa harus ada aturan membuat garis tepi masing-masing dengan jarak 1-2 cm
dari tiap tepi kertas gambar sebelum aku harus memulai menuangkan ide gambar di
kertas itu. Selesai menggaris tepi, aku membuat dua lingkaran berjajar dengan
posisi sedikit ke atas, agak dekat dengan garis tepi. Mungkin jaraknya sekitar
3 cm dari garis tepi atas. Hmm,, lebih jelasnya aku gambarkan saja.
Ya. Seperti
ini gambarku. Dua lingkaran.
Selesai
dengan dua lingkaranku, aku menutup buku gambarku. Aku pun berkeliling, melihat
teman-teman yang lain menggambar. Setiap mereka bertanya apakah gambarku sudah
selesai, selalu aku jawab “sudah” dengan mantab.
Lima belas
menit sebelum pelajaran berakhir, guruku –yang sebenarnya masih terhitung
sebagai budheku karena beliau adalah anak dari kakak dari kakekku itu menyuruh
kami mengumpulkan gambar yang telah selesai kami buat. Guruku menilai dan
langsung membagikannya lagi pada kami.
Tibalah giliranku.
Budheku,
hmmm maksudku guruku memanggil namaku. Aku segera maju mendekat ke mejanya. Aku
kena marah karena aku hanya membuat dua lingkaran. Guruku menyuruhku membawa pulang
kertas gambarku dan mengumpulkan gambar baru esoknya.
Aku pulang
ke rumah dengan langkah panjang-panjang. Aku sedikit emosi. Akan aku buktikan
bahwa perkataan guruku itu tidak benar. Aku bukan tidak bisa menggambar. Aku yakin
aku bisa menggambar dengan baik. Hanya guruku saja yang tidak tahu.
Sampai di
rumah, tanpa mengganti baju seragamku aku langsung mengambil buku gambarku. Aku
letakkan di atas kasur dan aku menggambar kucing seperti yang ada pada motif
sprei tempat tidurku.
Ibu yang
baru saja pulang dari kantor, bingung melihatku yang sudah sibuk dengan pensil,
penghapus dan kertas gambarku di atas kasur. Aku menceritakan semuanya pada
ibu.
Beberapa
detik ibu terbengong, tapi kemudian ibu pergi meninggalkan aku dengan “calon
kucingku”. Mungkin saat itu ibu menyadari bahwa lelucon yang pernah dibuatnya, sekarang
bukan sekedar lelucon.
Aku -anaknya
bertingkah seperti tokoh dalam leluconnya. Menggambar sesuatu yang tidak biasa,
dan (mungkin) tidak bisa diterima oleh seorang guru SD.
Sampai sekarang
aku tak pernah merasa bahwa apa yang pernah aku lakukan saat aku kelas empat
itu sebagai sebuah kesalahan. TAK ADA YANG SALAH DENGAN DUA LINGKARANKU.
Andai saja
guruku mau memintaku menjelaskan apa arti dua lingkaranku...
Tak usah
kalian minta penjelasanku, aku akan menceritakannya pada kalian.
Dua lingkaran
adalah ide luar biasaku. Sebuah ide gambar yang mungkin tak akan pernah
terlintas di benak anak-anak SD lainnya. Saat guruku meminta menggambar dengan
tema bebas, imajinasi melayang ke belakang rumah nenek. Aku, kakak dan
sepupu-sepupuku sering bermain-main di sana. Memetik buah jambu yang buahnya
begitu banyak saat musim panen tiba. Aku memposisikan diriku berada di belakang
rumah nenek itu.
Kertas
gambar dengan dua lingkaran itu adalah tembok belakang rumah nenek. Bangunan
berbentuk segi empat bercat putih dengan dua lubang ventilasi berbentuk lingkaran
yang berjajar. Di seberang tembok itu dapur. Itulah kenapa ada dua lubang
lingkaran di sana. Agar asap dari dapur dapat ke luar.
Kalau
kalian (mau) menyempatkan diri berkunjung ke belakang rumah nenekku, kalian
juga pasti akan melihat dua lingkaran itu.
Dua lingkaranku. Selalu kusimpan dalam
laci kenangan. Dua lingkaran yang membuatku merasa istimewa. Dua lingkaran yang
membedakan aku dengan anak-anak lain. Dua lingkaran yang menjadikanku spesial,
unik, dan berbeda.
Apakah kalian
juga mempunyai “dua lingkaran” sepertiku?
Kalo iya,
ayo ceritakan padaku! Aku ingin tahu. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar