Saya ingin pemimpin yang cerdas.
Berpikir dan bertindak cerdas untuk membawa desa tercinta ke arah yang lebih baik.
Orang cerdas tak kenal money pilitic.
Kamis, 3 Mei 2012 pukul 18.00
- Ratna Mulyanaputri, di salah satu grup tertutup Facebook -
***
Pemilihan kepala desa yang akan berlangsung akhir tahun ini rupanya sudah menyita banyak perhatian masyarakat Desa Entah. Perbincangan mengenai ajang pemilihan tersebut, siapa bakal calonnya seolah menjadi topik wajib dimanapun tempatnya. Bapak-bapak di warung kopi saling memperdebatkan bakal calon yang mereka unggulkan. Ibu-ibu di akhir acara pengajian dan arisan berkasak-kusuk, menggosipkan sang calon pemimpin. Anak-anak muda pun tak mau kalah. Dengan cara yang lebih modern, mereka saling adu argumentasi tentang kriteria pemimpin yang mereka inginkan di facebook, twitter dan media elektronik lainnya.
Di antara perbincangan-perbincangan mereka, tak sengaja saya dengar nama Ayah disebut-sebut menjadi bakal calon kepala Desa Entah. Tak hanya satu dua kali. Semakin lama nama Ayah semakin santer diperbincangkan.
Alih-alih senang dan bangga karena Ayah menjadi bakal calon kepala desa, saya malah takut dan gelisah. Saya gelisah memikirkan seberapa banyak uang yang Ayah gunakan sebagai modal nanti. Saya takut memikirkan bagaimana hidup keluarga kami yang selama ini serba kecukupan nanti akan kehilangan cukup banyak uang karena dipakai Ayah sebagai modal. Saya takut membayangkan saya tak kan punya cukup uang lagi untuk membeli buku-buku bacaan.
Saya lelah, tiap hari memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang saya bayangkan. Kalau Ayah nanti tidak lolos dalam ajang pemilihan itu, bagaimana nasib keluarga kami nanti? Ayah bangkrut, uang Ayah ludes dipakai modal dan utang Ayah menumpuk. Atau bagaimana nanti kalau Ayah yang lolos menjadi kepala desa? Ayah pasti akan sibuk memikirkan berbagai cara untuk mengembalikan modal yang sudah Ayah pakai dan ujung-ujungnya Ayah mengambil jatah uang milik masyarakat. Korupsi!
***
Seusai makan malam, seperti biasa keluarga kami menonton TV bersama. Sudah saya putuskan sekarang waktu yang tepat untuk berbicara dengan Ayah.
"Ayah, apa benar Ayah mencalonkan diri di ajang pilkades?" saya memberanikan diri bertanya pada Ayah.
"Kenapa tiba-tiba kamu bertanya serius seperti itu, nak? Apa ada sesuatu hal yang menjadikanmu khawatir?" jawab Ayah dengan suaranya yang lembut, bijaksana.
"Apa Ayah punya banyak uang untuk modal pencalonan itu?" saya mengutarakan apa yang selama ini saya pikirkan.
Ayah memberikan senyum termanisnya sebelum menjawab pertanyaanku.
"Nak, untuk menjadi seorang pemimpin Ayah tak perlu banyak uang. Yang Ayah perlukan hanya niat dan keberanian untuk memimpin masyarakat ke arah lebih baik."
"Tapi.. nanti siapa yang akan memilih Ayah? Bukankah orang-orang itu akan lebih memilih calon pemimpin yang membagi-bagikan amplop buat mereka?"
"Ya, kamu tak salah kalau berpikiran seperti itu nak.. tapi kamu juga tak sepenuhnya benar. Masih cukup banyak orang cerdas yang mampu memilih calon pemimpinnya dengan baik, tak hanya melihat seberapa uang yang diberikan si calon untuknya saat kampanye. Dan bukankah dengan ajang ini, nanti bisa kita lihat seberapa banyak orang cerdas di desa kita ini yang cukup cerdas dalam menentukan pilihannya?"
Ayah benar. Untuk menjadi seorang pemimpin tak perlu banyak uang buat modal. Yang penting adalah niat dan keberanian untuk membawa perubahan pada masyarakat. Tentunya ke arah yang lebih baik.
Dan semoga saja, masih banyak orang cerdas di Desa Entah tercinta ini yang punya pemikiran sama seperti Ayah.
Semoga.
Tembalang, 5 Mei 2012
2 komentar:
wah baru pertama kali ke sini...
permisi... :)
Silakan kak Nesya...
Sering-sering mampir ya.. hehe,,
Aku sebenarnya dah sering maen ke tempat kakak..tapi cuma jadi silent reader aja.. hehehee,,
Posting Komentar